1
|
Oleh:
Imro’atun Nafi’ah,
S.Pd.I.
Ternyata dan kenyataannya mereka, peserta
didikku kelas IX yang badannya besar-besar. Selain itu, tinggi badannya melebihi gurunya. Tak kusangka, mereka masih suka bermain
kereta-keretaan.
Aku berjalan setapak demi setapak dengan
langkah yang pasti. Menata hati, teriring harapan menatap sang pertiwi berkibar.
Terbayang kesantunan dan keelokan rupa anak negeri. Perjalananku ke ruang kelas
terasa sangat panjang. Tatkala selempang kisah-kisah keperihan negeri ini,
bergelembung menari di depan nyataku. Mulai semaraknya penyalahgunaan narkoba,
pergaulan bebas di kalangan remaja, pembunuhan, perampokan, sampai korupsi. Kuingat
kondisi itu, serasa tercoreng malu mukaku. Meskipun aku bukan seorang Presiden,
seperti Pak Jokowi ataupun Pak Bupati heeemm.... Aku hanyalah seorang guru yang
tiap minggu masuk ke kelas dua jam pelajaran.
Kini menapak kakiku di kelas ini. Ya...
disini dimulai. Langkah kecil inilah yang mengantar menuju kesana. Semoga.
Wajah masa depan pertiwiku kini berada di
tatapanku. Seolah akulah sang pelukisnya.
Hari ini Selasa di kelas IX A, dua puluh tiga murid menatap diriku. Menanti
apa yang hari ini mereka lakukan, dan menanti apa yang akan kuucapkan. Ku mulai
salam harapan keselamatan untuk muridku dunia dan akhirat. Dengan jawaban
serempak, menandakan kesiapan mereka belajar hari ini. Lantunan Surat At Tiin menggema di telinga selama satu
semester ini, dari lisan mereka. Untuk harapan terbukanya hati dan sirnanya
kegalauan hati remaja masa kini.
Tak seperti biasa, kini aku dihadapan mereka.
Aku katakan kepada mereka bahwa hari ini mereka akan bermain. Bak anak TK yang
menemukan mainan, mereka sangat senang sekali. Mereka berkelompok, dan satu
orang yang mereka pilih mengambil satu amplop yang kuletakkan berjajar di
tengah meja guru. Satu per satu dari 3 amplop yang kujajar habis mereka ambil. Selanjutnya,
tiga orang pilihan dengan amplopnya kembali ke kelompoknya dengan senyum dan
tawa penasaran kiranya apakah isi amplop tersebut. Tak sabar langsung dibuka amplopnya,
dan dibacalah selembar surat dariku. Mencoba memahami dan langsung beraksi
keluar kelas tanda mereka mengerti perintah yang tertulis di surat itu.
Bermain mereka di luar kelas memenuhi surat
yang mereka terima. Tidak ada yang tidak bergerak, semua bergerak riang
mengumpulkan gerbong-gerbong kereta yang tercecer di lapangan. Dan mereka
menemukan dan memegang satu gerbong yang bertuliskan potongan hadist tentang menuntut ilmu. Tanpa
diperintah, dengan senang hati mereka berlari-lari mencari teman-teman yang
lain. Sehingga tersusunlah hadist
yang sesuai.
gambar 1. kereta hadits |
Dan kusaksikan kini mereka berjalan berkeliling seperti kereta. Mengitari teras-teras kelas dengan suara bersahut-sahutan menghafal hadits yang mereka temukan di lapangan sampai hafal dan lancar. Berulang-ulang mereka berkeliling sekolah, seolah tak mau berhenti karena hati mereka senang. Apalah kuasa semua perjalanan, termasuk perjalanan kereta hadits mereka dibatasi oleh waktu. Kini mereka secara berkelompok duduk menyelesaikan akhir perjalanan. Dengan menuliskan laporan perjalanan kereta hadits, yang sudah terselip di amplop yang mereka terima tadi.
Masih dengan canda tawa, mereka asyik
menuliskan laporan perjalanan sebagai tanda paham terhadap materi pembelajaran
hari ini. Selesai penulisan laporan, dengan senangnya mereka berjalan bak
kereta menuju kelas. Langkah kereta dengan diiringi suara lantunan hadits tentang menuntut ilmu yang mereka
hafal dari kegiatan bermain hari ini. Senang pula hati gurumu ini, Nak. Mereka
berhak bahagia dalam hidupnya dan berhak bahagia juga di sekolah ini. Dan ku
dengar suara lantang muridku yang gagah dan tinggi menjulang:“Bu guru... Aku masih suka bermain kereta-keretaan ! Yuk
Bu besok main lagi!”.
Sederhana,
belajar bermakna yang membuat mereka bahagia dan tangguh dalam hidupnya. Belajar dengan mengoptimalkan potensi yang
Allah berikan kepada mereka. bukan hanya mata, telinga, dan tangan saja. Seperti
mereka saat belajar di kelas duduk mendengarkan penjelasan sang guru. Seakan
Gurulah yang berkuasa. Tapi kaki dan hati mereka juga bergerak. Untuk belajar mencari
dan menemukan cahaya ilmu dengan
kebahagiaan, kebersamaan serta ketaqwaan. Sehingga mereka akan menjadi generasi
tangguh dengan berbagai pengalaman belajar, karena ada amanah yang harus mereka
pikul. Karena orang-orang besar tidak begitu saja terlahir ke dunia. Mereka
ditempa, diukir, dan dilukis oleh pendidikan yang baik. Dan kitalah (guru) salah
satu pelukis yang mereka tunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar Ya...